Kolom

22 April 2025
Catur Pusat Pendidikan ala Mendikdasmen

Oleh: Biyanto*

Kesuksesan anak dalam menempuh pendidikan bukan murni tanggung jawab sekolah. Hal itu berarti orang tua tidak boleh memasrahkan begitu saja pendidikan dan pengasuhan buah hatinya ke sekolah. Sinergi semua pihak untuk menyukseskan pendidikan dan pengasuhan anak mutlak diperlukan. 

Tegasnya, dalam mendidik anak-anak agar menjadi generasi emas yang berkarakter, pasti diperlukan keterlibatan banyak pihak. 

Pada konteks itulah, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti memopulerkan istilah catur pusat pendidikan. catur pusat pendidikan merupakan pengembangan dari konsep tripusat atau trisentra pendidikan. Konsep trisentra pendidikan merujuk pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara. 

Bapak Pendidikan Nasional itu mengemukakan, ”Di dalam hidupnya anak-anak memiliki tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda”.

Dari pemikiran Ki Hajar itulah, selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenalkan istilah Tripusat Pendidikan yang meliputi: pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. 

Keberadaan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Tiga entitas tersebut turut melahirkan sistem pendidikan dalam berbagai bentuk, yakni formal, nonformal, dan informal.

Dengan mempertimbangkan perkembangan era digital saat ini, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menambahkan satu lagi pusat pendidikan, yaitu media. Menurutnya, posisi media sangat penting menjadi bagian dari pilar pendidikan dan pengasuhan anak. 

Apalagi, faktanya, anak-anak kini telah menjadi bagian dari masyarakat virtual (virtual community). Anak-anak juga lebih banyak berkomunikasi melalui dunia maya dengan teman sebayanya.

Menurut hasil riset Medcom.id, pada kurun 2019–2020, lebih dari 98 persen kelompok milenial dan generasi Z mengakses internet. Hanya 4–8 persen generasi milenial yang masih membaca media cetak. 

Lebih dari 79 persen generasi milenial menonton televisi melalui livestreaming. Data itu menunjukkan bahwa ketergantungan anak-anak terhadap media sosial (medsos) sungguh luar biasa. Bahkan, sebagian dari mereka berprinsip: no gadget no life.

Catur Pusat Pendidikan

Catur pusat pendidikan yang pertama adalah keluarga. Penting disadari bahwa institusi yang pertama dan terutama dalam pendidikan anak sejatinya adalah keluarga. Di dalam institusi keluarga itu, yang menjadi pendidik dan pengasuh terbaik tentu saja adalah orang tua. 

Kedua orang tua idealnya menjadi role model keteladanan bagi buah hatinya. Begitu pentingnya posisi orang tua dalam pendidikan dan pengasuhan anak, rumah atau keluarga dikatakan sebagai madrasah yang terutama. 

Hal itu sejalan dengan pernyataan hikmah: al-bait madrasatul ula (keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama). Lebih spesifik lagi dikatakan: al-umm madrasatul ula (ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya). 

Dengan potensi yang dianugerahkan Allah SWT, seorang ibu seharusnya menjadi pendidik dan pengasuh yang terutama. Pernyataan lain mengatakan: Al-umm madrasatul ula wal abu mudiruha (ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya dan ayah merupakan kepala sekolahnya).

Tatkala anak berada di lingkungan keluarga, orang tua seharusnya tampil sebagai pendidik dan pengasuh bagi buah hatinya. Penting ditegaskan bahwa peran orang tua dalam pendidikan dan pengasuhan anak tidak akan pernah tergantikan. 

Persoalannya, bagaimana dengan anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan dan pengasuhan yang memadai dari orang tua biologisnya? 

Dalam kondisi itu, peran keluarga besar (extended family) menjadi sangat penting. Keluarga besar penting hadir untuk mendampingi pendidikan anak-anak agar tidak salah asuh dan tersesat jalan.

Catur pusat pendidikan yang kedua adalah sekolah. Bagi sebagian besar orang tua, sekolah benar-benar menjadi tumpuan pendidikan anak. Harapan itu terutama dirasakan keluarga yang belum berpendidikan baik (well educated). 

Ada juga keluarga yang merasa belum mampu mendidik dan mengasuh anak dengan baik karena sibuk bekerja. Termasuk anak-anak yang lahir dari keluarga bermasalah (broken home). Dalam kondisi itu, sekolah harus menjadi rumah kedua yang ramah bagi anak-anak. 

Keinginan tersebut sejalan dengan tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua”. Dengan begitu, sekolah harus menjadi tempat yang ramah, nyaman, dan menyenangkan untuk menyemai nilai-nilai karakter anak. 

Untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua, penting diimplementasikan konsep pendidikan ramah anak (child friendly education). Tetapi, harus disadari, implementasi konsep pendidikan ramah anak membutuhkan komitmen guru. 

Guru harus tampil sebagai pendidik yang mendampingi anak-anak dengan sepenuh hati. Bahkan, guru juga dituntut untuk berperan sebagai orang tua sekaligus sahabat bagi anak-anak. Bukan sekadar mengajar berbagai ilmu pengetahuan, guru dan ekosistem pendidikan juga penting menjadi teladan kehidupan (living example) bagi anak-anak.

Catur pusat pendidikan yang ketiga adalah masyarakat. Pengertian masyarakat dapat dipahami berbagai kelompok (stakeholders) yang peduli dengan pengembangan pendidikan. 

Mereka berasal dari pegiat pendidikan, komite sekolah, ikatan wali murid, dunia usaha dan dunia industri (DUDI), komunitas seni dan budaya, organisasi profesi pendidikan, pondok pesantren, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan tokoh-tokoh informal yang ada di tengah-tengah masyarakat. 

Berbagai komunitas itu penting untuk membantu dalam pengembangan lembaga pendidikan. 

Catur pusat yang keempat adalah media. Perkembangan berbagai jenis media dengan semua dampak positif dan negatifnya tidak mungkin lagi dihindari. Anak-anak juga tidak mungkin diminta untuk kembali menjalani kehidupan seperti era tradisional. Lalu, mereka diminta untuk tidak menggunakan medsos sama sekali. 

Yang dapat dilakukan adalah mendampingi anak-anak dalam menggunakan medsos. Penting ditanamkan kesadaran pada anak-anak untuk menggunakan medsos secara positif, kritis, rasional, dan bertanggung jawab. 

Catur Pusat

Anak-anak juga perlu diberi pengetahuan tentang era post truth. Era post truth merujuk pada kondisi yang banyak diwarnai peredaran berita-berita bohong (hoaks). Bahkan, menurut Haryatmoko (2021), berita-berita bohong itu layaknya anak kandung era post truth. 

Pada era post truth, ukuran kebenaran tidak didasarkan pada data atau fakta. Ukuran kebenaran lebih banyak bersandar pada opini. 

Hukum yang tak terelakkan pada era post truth itu mengatakan bahwa kebohongan yang diberitakan secara terus-menerus akan dipersepsi sebagai sebuah kebenaran. Dalam kondisi tersebut, yang dipentingkan adalah kemampuan untuk memilah dan memilih mana berita yang bohong dan mana berita yang benar. 

Jika keterampilan itu dimiliki, medsos justru dapat dijadikan media mendidik dan mengasuh anak-anak agar menjadi generasi emas yang berkarakter. 

Dengan mempertimbangkan begitu pentingnya posisi media, pemikiran mendikdasmen terasa sangat relevan. Karena itulah, sinergi catur pusat pendidikan menjadi sebuah keniscayaan.

Melalui sinergi catur pusat pendidikan, proses tumbuh kembang anak akan terkawal dengan baik (child wellbeing). Program apa pun akan sukses jika pimpinan sekolah mampu mengolaborasikan empat pilar penting dalam catur pusat pendidikan. 

Sekolah tidak boleh bekerja sendirian dalam mendidik dan mengasuh anak. Justru yang harus dilakukan adalah melibatkan keluarga atau orang tua, berbagai kelompok yang ada di tengah-tengah masyarakat, dan media.

 

Sumber: Harian Disway (edisi 26/3/2025)

17 Maret 2025

Temukan insight menarik tentang sekolah dari sudut pandang murid.

23 Januari 2025

Kita berharap akan terwujud pendidikan manusia seutuhnya.

19 Desember 2024

Sejumlah calon kepala daerah bahkan berani menjanjikan pendidikan untuk negeri dan swasta.

23 Desember 2024

Unduh SK penetapan hasil akreditasi PAUD di sini.

19 Desember 2024

Kaum intelektual tidak boleh hanya mengandalkan ilmu pengetahuan tatkala bersinggungan dengan politik dan kekuasaan.

06 Januari 2025

Panduan ini menjadi acuan dalam pelaksanaan proses akreditasi sekolah/madrasah di Indonesia.

1 2 3